Antara Kepentingan Etnopolitik dan Reservasi Budaya


Antara Kepentingan Etnopolitik dan Reservasi Budaya
Donald P. Tick. : “Seseorang harus melakukan ini dan Saya bersedia melakukannya dengan senang hati”
Oleh: Surya Ningrat Datunsolang
Seminar Budaya yang diselenggarakan baru-baru ini mengalami kebuntuan. Forum yang seyogyanya bertujuan mulia untuk mereservasi adat budaya Bolaang Mongondow Utara ini mengalami kemandekkan setelah diselipi kepentingan etnopolitik. Adat budaya, atau setidaknya, “kebiasaan” hidup masayarakat Bolmut yang berbasis multi-subkultur hendak dijadikan suatu tatanan mono-kultur. Tujuannyapun belum dapat dipastikan, apakah itu demi kemudahan control untuk domain budaya Bolmut yang begitu luas ataukah suatu lonjakan “kreatif” lainnya sebagai perwujudan slogan “inovatif” pemerintah dalam hal melahirkan culture-set yang baru. Apapun itu, hal ini sesungguhnya menjadi kontraproduktif terhadap tujuan diadakannya forum yang mulia tersebut yakni Reservasi Budaya. Namun begitu, kepentingan etnopolitis tidak semata-mata hal yang menjadikan kebuntuan tersebut, hal lainnya yang tak kalah besar adalah kedangkalan pemaknaan dalam penggunaan kata “sejarah”, “budaya”, “adat” dan bahkan “kerajaan” pula. Memang terkadang kita perlu melihat keluar jendela serta bercermin kepada orang lain untuk memperluas cakrawala pikir  kita yang terkungkung oleh sempitnya lingkup pandang kita sendiri. Berikut ini adalah tulisan beberapa tahun silam sebagai bahan bacaan di antara waktu jeda sebelum kita kembali lagi ke forum yang mulia Seminar Budaya untuk kembali membahas masalah “Budaya” kita.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah, demikian kiranya sebuah pesan dari pendiri bangsa kita. Namun seiring dengan berlalunya waktu wejangan ini pun mulai lekang dari benak kita. Hingar-bingar pemekaran daerah Bolaang Mongondow Utara sontak membuat kita sibuk berbenah dan bersiap diri. Bait-bait sejarah kitapun kemudian dirangkai kembali, kali ini untuk melengkapi berkas proposal pemekaran, dimana sangat sedikit dari kita bahkan yang sempat membacanya serta jauh lebih sedikit lagi yang betul memaknainya.
Adalah Donald P. Tick, seorang pemerhati sejarah asal Belanda, yang sangat menaruh perhatian besar terhadap kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara terutama pada kerajaan-kerajaan kecil masa silam di Indonesia. Keseriusan beliau membuat saya terkesima, ketika dalam surat-surat elektronik antara kami berdua tergambar jelas pemahaman dan pengetahuan yang luar biasa akan kerajaan-kerajaan itu, terutama pengetahuan dan keingintahuan beliau tentang daerah swapraja Bintauna dan Kaidipang. Berikut ini adalah petikan wawancara dengan beliau:

Dimana alamat anda saat ini?
Saya sekarang tinggal di Van Blesswijkraat, Am Vlaardingen, Provincie Zuid-Holland, Negeri Belanda
Kegiatan sehari-hari anda?
Untuk nafkah keluarga saya bekerja pada suatu perusahaan logistic di Rotterdam sedangkan untuk waktu lainnya saya melakukan penelitian sejarah terhadap lebih dari seratus kerajaan di Indonesia. Saya juga meneliti kerajaan-kerajaan lainnya di Pilipina, Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam dan Thailand
Apa yang mendorong anda untuk menjadi pemerhati budaya, terutama budaya Negara saya (Indonesia)?
Saya tidak terdorong begitu saja. Ayah saya berasal dari Indonesia. Beliau juga masih memiliki hubungan kekerabatan dengan raja setempat. Beliau menikahi ibu saya yang seorang Belanda. Mulanya ini hanya sebuah hobi. Sangat menarik untuk mempelajari bagaimana para raja di masa silam memperoleh status social lebih tinggi di dalam masyarakat. Hal itu begitu menarik hati saya sehingga saya mendalami cara mereka menjadi pemimpin-pemimpin, mereka dapat menjadi Bapak yang mengayomi daerahnya. Bahkan menurut saya, mereka jauh lebih baik dari para politikus yang tentu saja (para politikus itu) harus senantiasa ada.
Dari sejarah yang anda teliti, apa yang paling menarik hati anda?
Segalanya menarik hati saya. Namun sangat mengasyikkan untuk mengkaji cerita-cerita masa silam dalam lingkungan keluarga kerajaan, mempelajari karakter setiap rajanya, khususnya para raja dan sultan yang senantiasa berusaha untuk menjadi pemimpin yang sempurna bagi rakyatnya. Ini berkaitan dengan nilai-nilai moral dari pemimpin-pemimpin itu yang dapat menjadi teladan bagi setiap orang. Saya sangat tertarik pada sejarah dan budayanya.
Sudahkah anda membentuk organisasi atau semacamnya untuk mewadahi kegiatan anda ini?
Ya, tentu saja. Tanpa organisasi akan sangat sulit bagi anda untuk mencapai orang-orang tertentu yang ingin anda hubungi. Dalam skala internasional anda harus senantiasa dibantu oleh organisasi semacam ini. Kami telah membentuk Pusat Dokumentasi Kerajaan-kerajaan di Indonesia yang kami berinama “PUSAKA”, usianya sudah lebih dari sepuluh tahun. Ini adalah organisasi internasional bagi siapa saja yang memiliki ketertarikan untuk itu. Kami memiliki arsip berupa foto-foto, film-film, Jaringan Royaltinya, dokumen-dokumen, peta-peta dan lain-lainnya.
Bagaimana pandangan masyarakat di Negara anda akan aktivitas seperti ini?
Pada awalnya mereka beranggapan bahwa hal seperti ini tidak lebih dari sekedar ketertarikan biasa saja kepada kerajaan-kerajaan tersebut. Kerajaan-kerajaan ini menarik perhatian banyak orang. Peraturan otonomi daerah yang diterapkan tahun 1999 di Indonesia secara social dan politik kembali mengangkat kerajaan-kerajaan tersebut kepermukaan. Dengan demikian perhatian internasionalpun kembali tertuju padanya.
Apakah anda mendapat dukungan resmi dari pemerintah kedua Negara?
Kami tidak didukung (secara resmi) oleh siapapun. Di Indonesia terdapat organisasi semacam ini namun mungkin mereka tidak begitu mengenal kami atau mereka terlalu sibuk. Kami berharap kelak kami dapat saling bekerja sama dan bertukar informasi. Kami mengumpulkan informasi yang ada saat ini dari rekan-rekan kami; keluarga-keluarga yang pernah bekerja di Indonesia sebagai pegawai Kolonial Hindia Belanda, para pelajar dan peneliti maupun dari beberapa orang Indonesia. Impian saya adalah untuk melakukan penelitian pada kerajaan di Indonesia itu, khususnya sejak berakhirnya jaman kerajaan hingga saat ini, namun siapa kiranya yang mau menghargai ini? Walaupun begitu, saat ini kami telah dapat bertukar informasi dengan pra pewari keturunan kerajaan di berbagai tempat. Baru-baru ini kami memperoleh berkas-berkas dari Sushunan Paku Buwono VIII hingga Sushunan Paku Buwono XIII.
Dukungan seperti apa yang anda harapkan dari kedua Negara?
Saya tidak begitu berharap pada pemerintah Belanda. Mungkin nantinya universitas-universitas akan bekerja sama dengan kami dalam penelitian-penelitian. Akan tetapi sekarang banyak yang menginginkannya terutama untuk menanggapi kebutuhan para keluarga-keluarga raja yang merasa perlu memperoleh informasi tentang pendahulu-pendahulunya. Seseorang harus melakukan ini dan saya bersedia melakukannya dengan suka hati, namun terkadang perkara ini tidaklah mudah, anda harus melindungi kepentingan-kepentingan tertentu, terutama di “dunia modern” seperti saat ini.
Apakah anda memiliki kontak dengan orang Indonesia, khususnya dari bilangan keluarga kerajaan?
Banyak sekali. Saya sudah dua kali menghadiri Festival Kerajaan Nusantarai, di Kutai dan Yogyakarta. Kini saya sudah dikenal di kalangan tersebut. Juga sejak tahun 2000 saya berkunjung setidaknya sekali setahun pada daerah-daerah berbeda di Indonesia guna mengumpulkan informasi yang tidak dapat saya temui dari buku-buku, khususnya sejak zaman kerajaan berakhir, atau sejak kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia disatukan guna memperoleh control pemerintahan yang lebih baik (dalam pandangan Pemerintah Hindia Belanda). Saya juga mengenal beberapa keturunan raja-raja Indonesia yang kini tinggal di Negeri Belanda. Dari mereka saya memperoleh informasi untuk penelitian saya ini.
Apa yang anda ketahui mengenai kerajaan Bintauna dan Kaidipang Besar?
Saya tahu beberapa orang masih juga memiliki pemahaman negative dan berbeda-beda terhadap sejarah Kerajaaan Bintauna Terakhir dalam beberapa tahun ini. Sejauh yang saya tahu Kerajaan Bintauna adalah pusat kerajaan Bolaang Mongondow dan kerajaannya membentang jauh ke utara hingga ke daerah Gorontalo. Bintauna adalah kerajaan yang cukup besar pada awalnya namun kemudian terpisah menjadi kerajaan yang lebih kecil dikemudian hari.
*versi penuh wawancara ini dimuat pada Surat Kabar Investigasi Edisi ke-4, Maret 2008.

Share this article :
 

Posting Komentar

 
Support by : Kakay Gembel | Putry | Zhafif
Copyright © 2011. Seni dan Budaya Bolmong Utara - All Rights Reserved
Template Modifi by Creating Website Published by Zhafif
Proudly powered by Blogger